Forum Wartawan Tasik Utara (FORWATUR)
Kabupaten Tasikmalaya, analisaglobal.com — Ramainya permasalahan wisuda atau perpisahan yang dilaksanakan di tingkat TK, SD, SMP ataupun SMA menjelang akhir tahun ajaran, kini menjadi polemik di masyarakat, khususnya bagi para orangtua siswa/siswi, pasalnya wisuda yang digelar tersebut mengeluarkan biaya yang cukup tinggi bagi para orangtua/wali siswa/siswi.
Maka dengan adanya hal tersebut, Forum Wartawan Tasik Utara (FORWATUR) melalui Lembaga Bantuan Hukum FORWATUR (LBH FORWATUR) yang diketuai oleh Lia Srimulyani, SH dan ketua FORWATUR Halim Saepudin angkat bicara terkait hal tersebut.
Lia Srimulyani, SH mengatakan, permasalahan yang timbul saat ini tentunya bukan tentang masalah meriahnya dan akan menjadi kenangan bagi para siswa/siswi dalam acara wisuda/perpisahan, tetapi dengan dalih seperti itu saya rasa tidak logis, karena wisuda itu pastinya hanya di perguruan tinggi saja. Intinya kalau saya menyoroti bukan hanya persoalan terkait wisuda/perpisahan saja, tetapi bagaimana bahwa di lingkungan sekolah pun dengan dibentuknya paguyuban-paguyuban orangtua itu yang akhirnya pada kenyataannya jika dilihat paguyuban – paguyuban orang tua yang dibentuk oleh sekolah – sekolah sebagai Mitra ataupun kepanjangan sekolah untuk melakukan komunikasi antara sekolah dengan orangtua/wali murid itu malah seperti terbentuknya sosialita baru yang akhirnya malah kelihatannya diduga jadi borjuis dan hedonis, katanya. Senin (19/06/2023).
Baca Juga Ratusan Masyarakat Desa Gunungcupu Sindangkasih, Tuntut Keadilan dan Evaluasi Kinerja Perangkat Desa
“Sehingga ketika itu dibiarkan, artinya saya melihat bahwa seperti ada kelas-kelas kasat mata, maka ketika ada permintaan dari pihak sekolah terkait apapun dan itu memerlukan dukung dari orangtua/wali murid, baik pemikiran ataupun materi itu seperti terlihat perbedaannya, artinya ketika wali muridnya mampu itu memberikan sumbangsih ke sekolahnya kelihatan wah, kalau yang memang tidak mampu atau yang kurang mungkin sederhana saja,” jelasnya.
Lia Srimulyani juga menuturkan, dan sekolah pun selalu beralibi bahwa kalau memang ada silakan pergunakan ataupun kalau tidak ada tidak usah memaksakan, walaupun pada akhirnya tetap saja banyak sekolah melaksanakan hal tersebut, apalgi dengan kurikulum hari ini yang menganut kurikulum Merdeka, sehingga sekolah diberikan otoritas seluas-luasnya, yang saya lihat akhirnya malah lepas kontrol, yang artinya lepas kontrol bahwa mereka melaksanakan kegiatan perpisahan dengan berdalih bahwa sejak pandemi Covid-19 kemarin 2 tahun itu tidak dilakukan perpisahan, sehingga terkesan ada euforia, tuturnya.
Soroti Acara Perpisahan dan Wisuda di Tingkat Sekolah Dasar
“Padahal dengan melaksanakan perpisahan yang benar-benar Wah tentunya itu dengan biaya yang cukup lumayan, kalau dengan dalih pasca pandemi Covid-19 karena 2 tahun kemarin tidak melakukan perpisahan, kita juga harus melihat kondisi perekonomian di masyarakat, walaupun Covid-19 sudah berlalu, 2 atau 3 tahun ke belakang, saat ini kita masih merayap lagi untuk menata ekonomi kita yang belum pulih 100%,” imbuhnya.
Lia Srimulyani, SH juga mengungkapkan, jadi bukan berarti dengan tidak ada Covid-19 untuk perpisahan tidak ada masalah, silahkan dilaksanakan tapi sesederhana mungkin dilakukan di sekolah itu, karena saya sebagai seorang aktivis yang juga profesi saya sebagai pengacara dan juga seorang Ibu yang memiliki 2 putra, yang satu di SMP yang satu di SD itu sangat merasakan, karena saya sebagai salah satu wali murid yang terkadang ketika memang ada hal-hal yang tidak dirasional saya selalu menolak setiap ada peraturan yang dilakukan sekolah dirasa oleh saya itu tidak rasional dan tidak harus dilaksanakan, ungkapnya.