Oleh : Dede Farhan Aulawi
(Tourism Safety Refresentative)
Bandung, analisaglobal.com — Setiap manusia pada dasarnya suka melakukan aktivitas wisata. Terlepas pemilihan jenis wisatanya seperti apa karena setiap orang memiliki peminatan masing – masing. Akan tetapi setiap tempat termasuk objek – objek wisata pada dasarnya memiliki potensi bahaya (hazard) dan resiko (risk), sehingga setiap pengelola objek wisata pada dasarnya memiliki tanggung jawab untuk melatih dan mensosialisasikan hal tersebut guna mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan, termasuk juga kesiapan dan kesigapan dalam menangani musibah jika terjadi kecelakaan di objek wisata yang menjadi tanggung jawabnya.
Pada kesempatan ini, sebagai orang yang lama dibesarkan di dunia keselamatan (safety) dan juga pengajar pasca sarjana bidang safety di salah satu perguruan tinggi ternama di kota Bandung ingin berbagi pengetahuan tentang penerapan HIRA di objek wisata.
HIRA merupakan singkatan dari “Hazard Identification and Risk Assessment”. Literasi lain yang sejenis dengan ini ada yang disebut HIRARC, yaitu Hazard Identification Risk Assessment and Risk Control, yaitu metode identifikasi yang digunakan untuk meninjau hazard suatu kegiatan atau proses secara sistematis, teliti dan terstruktur yang dapat menimbulkan resiko merugikan bagi manusia, fasilitas, lingkungan, atau sistem yang ada serta menjelaskan penanggulangan resikonya. Tingkat/level implementasi suatu program berdasarkan hirarc dikatakan efektif atau tidak, diketahui melalui kombinasi tingkat kinerja program dan tingkat kecelakaan.
Metode – metode tersebut selama ini banyak digunakan di dunia industri dan erat kaitannya dengan program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), meskipun sebenarnya bisa juga diterapkan di dunia pariwisata. Namun karena implementasinya sangat jarang digunakan di bidang kepariwisataan sehingga sebagian pegiat pariwisata mungkin banyak yang belum tahu bagaimana menerapkannya. Konsep sederhananya sebenarnya, bagaimana kita bisa mencegah sebuah musibah kalau kita tidak tahu atau belum mengidentifikasi potensi – potensi musibah (kecelakaan) yang mungkin terjadi di objek wisata tersebut.
Jika kita berbicara konsep K3, maka basis dasarnya adalah loss control dan loss prevention, yaitu berbicara tentang konsep pencegahan dan pengendalian suatu kecelakaan. Keduanya berbasis pada hal yang sama yaitu manajemen resiko K3. Resiko K3 sendiri muncul dari adanya hazards. Hazard(s) didefinisikan sebagai “source, situation, or act with a potential for harm in terms of human injury or ill health, or a combination of these”. Dari definisi ini juga terlihat bahwa risiko yang di-“manage” termasuk resiko kesehatan (resiko terhadap terjadinya ‘ill health’). Ill health sendiri didefinisikan sebagai “identifiable, adverse physical or mental condition arising from and/or made worse by a work activity and/or work-related situation”. Dalam konteks ini maka resiko yang dibahas adalah potensi penyakit yang muncul akibat pekerjaan atau yang dipengaruhi oleh faktor pekerjaan. Sementara dalamkonsep pariwisata, subjek bahasannya terkait dengan potensi bahaya dan/atau bahaya yang bisa timbul akibat suatu aktivitas wisata. Namun sayangnya, dalam proses hazard identification and risk assessment, resiko – resiko dalam suatu aktivitas wisata jarang dibahas. Termasuk di perguruan tinggi yang terkait dengan kepariwisataan pun, jarang mendalami tentang HIRA guna menjamin keselamatan para pengunjung (wisatawan).