Lebih lanjut Givan mengatakan, selama ini mereka menjalankan tugas untuk merawat pasien Covid-19. Tak hanya itu, mereka juga kerap melaksanakan sejumlah pekerjaan tambahan selama merawat pasien. Kami hanya menuntut dan meminta penjelasan apa yang seharusnya menjadi hak mereka, sebagaimana dalam Regulasi dituangkan melalui terbitnya PP Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular yang menyatakan bahwa petugas tertentu yang telah melakukan upaya penanggulangan wabah dapat diberikan penghargaan. Ungkapnya
Givan juga menuturkan, kemudian termasuk mengenai adanya dugaan atau indikisi pemalsuan data positif covid 19 di RSUD SMC Kabupaten Tasikmalaya. menurutnya memang praktik – praktik tidak sehat itu bukan hanya saja ada di Kabupaten Tasikmalaya saja, tetapi di daerah lain pun sama kasusnya, dimana berangkat dari niat baik dan itikad baik untuk menyamakan data, karena motif kasus dugaan mengcovidkan menyatakan status pasiennya sebagai pasien Covid-19 yang bertujuan untuk mendulang keuntungan itu kemungkinan bisa terjadi bahkan sudah dilakukan. tuturnya
“Namun sangat disayangkan sekali dimana tuntutan kami untuk meminta dihadirkan kepala dinas kesehatan dan direktur RSUD SMC itu sama sekali tidak sesuai dengan harapan malah yang terjadi adanya kekonyolan dimana seorang Dirut RSUD mengutus sekaligus memasang kuasa hukum untuk menyuruh menghadap Massa Aksi dari organisasi PMII, dimana kemudian secara tidak langsung ini sudah terkonfirmasi adannya ketimpangan dan kejanggalan dalam internal RSUD sendiri.” Jelasnya
“Karena secara tidak langsung saya pikir dengan adanya utusan kuasa hukum malah yang ada hanya membangun narasi pembenaran, tetapi tidak dengan kebenarannya, dan tentunya seorang kuasa hukum tidak ada hak perogratif dan bukan ranah nya membicarakan kesalahan dan kekurang yang ada di internal RSUD SMC itu sendiri, bahkan sekaligus untuk menghadapi massa aksi, wong kita masih tahapan untuk menyamakan data bukan membuat LP,” pungkas Givan***Day/UWA