KAB.TASIKMALAYA, analisaglobal.com,- Setiap manusia secara fitrah pasti menginginkan memiliki harta, dan salah satu bentuk harta yang berharga dalam kehidupan di dunia ini berupa tanah dan rumah sebagai tempat untuk tinggalnya. Permasalahannya adalah bahwa untuk bisa memiliki sebuah tanah itu bukanlah hal yang mudah, baik karena harganya yang terus naik, ataupun timbulnya sengketa-sengketa pertanahan di banyak tempat, bahkan mungkin terjadi secara merata di seluruh tanah air, Sementara untuk menyelesaikan sengketa pertanahan juga tidak mudah terutama untuk masyarakat yang seringkali tidak memiliki cukup bukti kepemilikan atas tanahnya berupa sertifikat.
Untuk mengetahui lebih lanjut peta persoalan terkait masalah pertanahan ini, media mewawancarai Pemerhati Pertanahan Dede Farhan Aulawi di Jakarta, Senin (24/8). Menurut Dede, tanah di Indonesia diatur dalam UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang di dalamnya menyerap hukum adat, yaitu diakuinya hak ulayat sebagaimana tertuang dalam pasal 5 UUPA yang menyatakan “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama, ungkap Dede.
Dede juga menambahkan bahwa hal yang berkaitan dengan tanah ulayat, UUPA mengatur di dalam pasal 3 mengatakan, “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi, imbuhnya.
“Sebagaimana Dalam Kepmen Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, pasal 2 ayat 2 menyatakan “ Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila, pertama terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari, kedua terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan ketiga, terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut”. ungkap Dede.
“Dengan demikian, maka tanah ulayat yang melekat pada masyarakat hukum adat, dikelola dengan berbagai macam cara tergantung dari musyawarah masyarakat adat setempat, Karena tak jarang keberadaan dan pengolahan tanah ulayat menjadi konflik dalam masyarakat. Ketentuan hukum adat menyatakan bahwa hak ulayat tidak dapat dilepaskan, dipindah tangankan atau diasingkan secara tetap (selamanya). Secara khusus, obyek hak menguasai Negara yang dalam kenyataannya sering mengalami permasalahan adalah pelaksanaan hak menguasai Negara pada tanah-tanah hak ulayat, ketidakjelasan kedudukan dan eksistensi masyarakat hukum adat menjadi titik pangkal permasalahan, sehingga keberadaan tanah ulayat tak jarang memicu terjadinya konflik dalam masyarakat”.