Lanjut Dede, bahwasannya dalam perspektif pendekatan teori, hukum adat merupakan hukum non-statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum islam. Hukum adat itupun mencakup hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan, dimana dia memutuskan perkara. Hukum adat berakar pada kebudayaan tradisional. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena dia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat, jelasnya.
Masih menurut Dede, Adapun terkait sumber hukum adat sebagai tempat mencari hukum adat adalah pepatah-pepatah adat baik tersurat maupun tersirat merupakan prinsip-prinsip hukum adat yang menjadi pegangan kehidupan masyarakat Indonesia, Yurisprudensi adat, yaitu keputusan-keputusan hakim yang berkaitan dengan masalah atau sengketa adat, dokumen-dokumen yang memuat ketentuan yang hidup pada suatu masa tertentu ketika hukum adat menjadi hukum positif secara nyata (pada zaman keemasan kerajaan), baik yang berwujud piagam-piagam, peraturan-peraturan atau keputusan-keputusan, Buku Undang-Undang yang dikeluarkan oleh raja-raja, Laporan-laporan hasil penelitian tentang hukum adat, dan Buku karangan ilmiah para pakar hukum adat yang menghasilkan doktrin atau tesis tentang hukum adat. Dalam praktek, penerapan hukum adat ini tentu tidak sesederhana dalam teori. Hal ini terbukti dari bayaknya konflik dengan masalah ini, imbuhnya.
Sementara berkaitan dengan sumber, secara umum karena faktor (1) Kebutuhan (Needs),yaitu edisi terhadap kesejahteraan dan keberadaan manusia, (2) Presepsi (Preseption) yaitu cara pandang terhadap suatu hal atau masalah tertentu, (3) Kekuasaan (Power), yaitu kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar sesuai dengan kehendaknya, (4) Nilai (value), yaitu kepercayaan atau prinsip dasar yang dipertimbangkan sebagai sesuatu hal yang penting, dan (5) Perasaan atau emosi (Feeling and Emotion), yaitu respon yang timbul dari individu atau kelompok dalam menghadapi konflik.
“Lalu untuk meyelesaikan sengketa, pada umumnya terdapat beberapa cara yang dapat dipilih. Tergantung dari kesepakatan para pihak yang bersengketa. Cara-cara yang dimaksud adalah :
1. Negosiasi, yaitu cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi (musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya diterima oleh pihak tersebut.
2. Mediasi, yaitu upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan, yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.
3. Pengadilan, yaitu lembaga resmi kenegaraan yang diberi kewenangan untuk mengadili, menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan hukum acara dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
4. Arbitrase, yaitu cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan, berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, dan dilakukan oleh arbiter yang dipilih dan diberi kewenangan mengambil keputusan “, pungkas Dede.***(Day)