Pemerintah dan parlemen Perancis seyogyanya belajar membuka mata dan hati untuk melakukan review dan revisi terhadap UU maupun landasan hukum lainnya yang nyatanya berpotensi menimbulkan konflik umat manusia. Karena dalam prakteknya akibat dari “kebebasan” yang mereka miliki telah menimbulkan korban lain yang tidak berdosa dalam jumlah yang lebih besar. Baik itu korban harta atau jiwa. Bisakah pemerintah dan parlemen Perancis sedikit mengerem ambisi “kebebasannya” demi sedikit rasa “persaudaraan dan perdamaian”. Faktanya Pemerintah Indonesia pun turut mengecam pernyataan Presiden Perancis yang menghina agama Islam dan telah melukai perasaan umat Islam di seluruh dunia, dan berpotensi memecah belah persatuan antar-umat beragama di dunia. Padahal, saat ini dunia memerlukan persatuan untuk menghadapi pandemi Covid-19.
Pemerintah Indonesia berpandangan bahwa “kebebasan berekspresi” yang mencederai kehormatan, kesucian, serta kesakralan nilai-nilai dan simbol agama sama sekali tidak bisa dibenarkan dan harus dihentikan. Apalagi mengaitkan agama dengan tindakan terorisme adalah sebuah kesalahan besar. Terorisme adalah terorisme. Teroris tidak ada hubungannya dengan agama apa pun.
Kekerasan tentu tidak dibenarkan secara universal, tetapi jangan melupakan sumber kenapa seseorang bisa melakukan kekerasan. Konsep untuk membasmi orang yang dianggap “radikal” tanpa memperhatikan akar penyebab kenapa ia radikal, bisa mengalami kegagalan total. Oleh karena itu, ada baiknya jika Macron sesekali berkontemplasi diri untuk berfikir dan merenung secara jernih untuk mencari “kebijakan solutif” yang bijaksana. Tindakan seperti ini jangan dianggap “tunduk” pada kaum radikal, tetapi berfikir dan bertindak penuh pengayoman untuk seluruh umat manusia yang cinta damai.
Momentum ini harus dijadikan momentum renungan buat seluruh pemimpin di dunia untuk selalu menjaga ucapan dan perbuatan. Dunia ini dihuni oleh banyak umat manusia yang sangat beragam, jadi satu sama lain harus memelihara semangat untuk menjaga persaudaraan dan kerukunan. Kebebasan di ruang publik, sejatinya dibatasi juga oleh kebebasan yang dimiliki oleh orang lain. Jika kebebasan yang dimiliki tanpa batas dan tidak dinaungi oleh semangat persaudaraan, maka “liberte” akan berdiri dan berjalan pincang tanpa “fraternite”. Pungkas Dede.***Masdar