Terlebih saat ini kita memasuki era revolusi industri 4.0 yang menandai babak baru masuknya digitalisasi peradaban ke seluruh sendi kehidupan. Dari satu sisi ini menandakan tantangan dalam pemanfaatannya, namun dari sisi lain kaki tetap berpijak di bumi yang menandai sebuah realitas bahwa adaptasi terhadap berbagai lompatan teknologi tentu tidaklah mudah. Dalam konteks ini, jejaring dan kerjasama yang luas menjadi kata kunci. Adaptibilitas pergaulan sekaligus kemampuan membangun jejaring menjadi sangat penting. Tidak semata – mata diterjemahkan dalam dalam penetrasi untuk menciptakan kondisi saja, tetapi sebuah langkah preventif untuk memelihara agar suatu kondisi yang diinginkan tetap kondusif.
Masyarakat awam tentu akan melihat bahwa dunia saat ini relatif dalam kondisi aman. Namun perspektif intelijen akan berbicara lain, dimana dunia saat ini sedang memasuki babak baru pertempuran virtual tanpa batas. Setiap menit bahkan setiap detik, serangan siber dari satu titk ke titik lainnya terus bergerak bahkan ada trend mengalami peningkatan. Pergeseran paradigma medan pertempuran telah memasuki babak baru, dimana lini infiltrasi menggunakan instrumen dan metode yang selalu baru, selalu berubah, dan sistem yang semakin canggih.
Jika merujuk pada “The Six Ds” (digitized, deceptive, disruptive, demonetized, dan dematerialized), maka dalam konteks ini teknologi telah menjelma menjadi driver utama dari perubahan tatanan dunia, termasuk di Indonesia. Semua ini pada akhirnya akan bermuara pada anomali transformasi ekonomi seiring dengan perkembangan teknologi. Dalam tataran praktis mensikapinya tentu tidak mudah, dimana sebagian orang sudah memandang bahwa teknologi saat itu telah mulai menjelma menjadi sebuah ideologi (Digitalism Idiology). Doktrin – doktrin yang muncul dalam teknologi seringkali dianggap sebagai sebuah kebenaran “mutlak”, sehingga jika tidak disaring dengan kedewasaan berfikir akan mempengaruhi pola fikir, pola sikap dan cara pandang hidupnya. Untuk itulah kemampuan institusi dan perangkat intelijen dalam memprediksi, mencegah, mendeteksi, dan merespon perubahan dunia yang berpengaruh terhadap kepentingan nasional menjadi sangat strategis. Ungkap Dede.
“ Orientasi pusat gravitasi teknologi intelijen harus didasarkan pada kemampuan industri dalam negeri dengan menggandeng berbagai institusi – institusi yang memiliki kapabilitas mumpuni, serta kecerdasan intelektualitas anak bangsa yang tidak diragukan lagi loyalitas dan dedikasinya pada bangsa dan negara. Indonesia sesungguhnya tidak kekurangan orang – orang yang cerdas dan penuh kreativitas, yang dengan mudah bisa melakukan transfer teknologi dan inovasi – inovasi peralatan intelijen. Pelibatan mereka agar menjadi satu kesatuan dalam membela kepentingan nasional perlu semakin dimaksimalkan agar memberikan nilai guna yang optimal “, pungkas Dede mengakhiri pembicaraan.” ***Masdar