Sementara itu, Kepala Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (LKKPN) Pekanbaru Fajar Kurniawan menyampaikan bahwa keberadaan mamalia laut di TWP Pulau Pieh menjadi fokus pengelolaan selain terumbu karang dan penyu. Dengan adanya data kemunculan mamalia laut di 5 (lima) tahun terakhir ini nantinya akan menjadi dasar upaya pengelolaan mamalia laut di kawasan ini.
Data series mamalia laut di TWP Pieh, 52,69% diperoleh dari monitoring rutin cetacean, 27,96% dari informasi mitra kawasan seperti operator wisata, nelayan, enumerator, Kelompok Masyarakat Penggerak Konservasi (KOMPAK), dan 19,35% dari kegiatan lapangan lainnya.
“Tercatat ada 10 jenis mamalia laut dijumpai pada TWP Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya, yaitu Stenella longirostris roseiventris, Stenella longirostris (muncul secara konsisten sejak tahun 2016 hingga 2020), Stenella attenuata (2017-2020), Tursiops aduncus (terdata muncul pada tahun 2016-2019), Tursiops truncatus, Lagenodelphis hosei, Sousa chinensis, Peponocephala electra, Tursiops truncatus, Pseudorca crassidens, dan Balaenoptera omurai,” jelas Fajar di Pekanbaru.
Pakar mamalia laut Danielle Kreb, dalam webinar menjelaskan bioekologi mamalia laut yang ada di perairan Indonesia dengan berbagai pengalaman unik terkait dengan pengelolaan lumba-lumba. Menurutnya, tantangan dalam melestarikan biota laut atau pemanfaatan secara lestari adalah tingkah laku manusia yang tidak bertanggung jawab, karena 65% persen dari total 467 Kabupaten/ Kota yang ada di Indonesia berada di pesisir.
“Pada tahun 2017 populasi penduduk Indonesia mencapai lebih dari 264 juta orang. Lebih dari 80% di antaranya hidup di kawasan pesisir. Tingginya populasi manusia di sepanjang pesisir menyimpan ancaman dari pencemaran akibat ulah tidak bertanggung jawab seperti sampah, dan limbah rumah tangga,” jelas Danielle.***HUMAS DITJEN PENGELOLAAN RUANG LAUT