Bandung, analisaglobal.com — Pembahasan tentang kepariwisataan selalu menarik untuk didiskusikan, bahkan lebih menarik lagi untuk dilakukan yaitu langsung melakukan kunjungan wisata ke objek – objek yang menarik untuk dikunjungi. Secara umum setiap manusia pasti menyukai wisata dengan alasannya masing – masing, baik sekedar untuk refreshing saja, menghindari kepenatan, mencari inspirasi, menemukan peluang, dan lain – lain sesuai kepentingannya amsing – masing. Apalagi ragam pesona wisata di Indonesia sangat banyak sekali, sehingga setiap orang bebas memilih sesuai keinginan dan peminatannya masing – masing. Bahkan ada sebagian orang yang menyukai peminatan pada wisata yang sifatnya menantang, menguji adrenalin dan tentu memiliki resiko yang harus diperhitungkan. Oleh karenanya dalam bidang kepariwisataan tidak akan lepas dari resiko – resiko, sehingga untuk meminimalisirnya diperlukan pengetahuan tentang Manajemen Krisis dan Bencana Kepariwisataan (MKBK). Kamis (29/10/2020)
Masing – masing objek wisata memiliki potensi resiko, baik potensi yang bisa diprediksi maupun resiko yang tidak bisa diprediksi, sehingga diperlukan langkah – langkah antisipatif untuk mencegah dan meminimalisir kemungkinan terjadinya resiko tersebut. Apalagi negara Indonesia terletak di lempengan Indo-Australia dan Eurasia, sehingga dinilai relatif rawan terhadap kemungkinan terjadinya berbagai bencana alam seperti gunung meletus dan gempa bumi yang bisa diikuti oleh tsunami. Sementara itu terjadinya bencana alam sulit diprediksi dengan pasti karena bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, termasuk di daerah – daerah yang dijadikan objek wisata. Oleh karenanya, diperlukan penanggulangan krisis yang tepat di sektor pariwisata dengan beberapa tahap seperti rehabilitasi, rekonstruksi, dan recovery (pemulihan) hingga build back better.
Prinsip dasar kebijakan rehabilitasi adalah menempatkan masyarakat tidak saja sebagai korban bencana, namun juga sebagai pelaku aktif dalam kegiatan rehabilitasi. Kegiatan rehabilitasi merupakan rangkaian kegiatan yang terintegrasi dengan kegiatan prabencana, tanggap darurat dan pemulihan dini (early recovery) serta kegiatan rekonstruksi.
Pemulihan dini adalah awal pemulihan pada fase darurat, dengan melengkapi/melanjutkan tindakan bantuan darurat, mendukung pemulihan spontan, dan meletakkan fondasi pemulihan jangka panjang. Pemulihan dini dilakukan oleh Rapid Assessment Team segera setelah terjadi bencana. Tahap rekonstruksi mencakup pembangunan kembali semua prasarana dan sarana serta kelembagaan pada wilayah pascabencana. Build back better dengan pengurangan risiko bencana. Sasaran utamanya adalah tumbuh kembangnya kegiatan ekonomi, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, serta bangkitnya peran masyarakat dalam segala aspek kehidupan.
Secara matematis, jika berbicara bencana bisa dituangkan dalam persamaan D = H x V : C.
D = disaster,
H = hazard yaitu karakteristik bahaya atau ancaman
V = vulnerability, yaitu sikap atau perilaku yang mengakibatkan penurunan kualitas sumberdaya alam atau kerentanan,
C = capacity yaitu kapasitas
Jadi dari persamaan tersebut dapat diketahui bahwa untuk mendapatkan nilai D yang kecil, maka nilai H dan V juga harus diperkecil, sementara nilai C harus diperbesar. Capacity (C) disini bisa diterjemahkan dalam capacity to detect, capacity to report, dan capacity to respons.