Kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi diperkirakan berdasarkan penilaian kerusakan dan kerugian (Damages and Losses Assessment / DaLA) yang dilaksanakan oleh BNPB, Bappenas dan Bank Dunia, serta dilengkapi dengan penelitian kebutuhan masyarakat korban bencana/Human Recovery Needs Assessment (HRNA) yang dilaksanakan oleh Inter Agency Steering Committee yang dikoordinasikan oleh UNDP untuk memperoleh gambaran kebutuhan pemulihan pasca bencana atau Post Disaster Needs Assessment.
Sementara itu disadari pula bahwa jika terjadi suatu bencana, maka yang akan terdampak bukan hanya aspek fisik semata, melainkan juga aspek psikis atau kejiwaaan. Oleh karenanya pemulihan aspek kejiwaan juga sangat penting (post traumatic stress) melalui konseling, penyuluhan, terapi kelompok (di sekolah, kelompok pengungsi) dan perawatan. Pemulihan kesehatan termasuk gizi. Pemulihan sosial ekonomi sebagai upaya peningkatan ketahanan pangan. Program yang dapat dilakukan antara lain penciptaan lapangan kerja, pemberian modal usaha, perbaikan sumber-sumber bahan pangan, dan lainnya.
Dengan demikian pembahasan konsep kepariwisataan seyogyanya tidak melupakan aspek – aspek penanggulangan krisis dan bencana yang mungkin terjadi di suatu objek wisata. Jadi pengenalan Manajemen Krisis dan Bencana Kepariwisataan (MKBK) menjadi sangat penting untuk turut disosialisasikan, sebagaimana dilakukan oleh organisasi Pegiat Ragam Wisata Nusantara (Prawita) GENPPARI selama ini untuk memberikan pemahaman potensi bencana kepada masyarakat dalam mengurangi risiko-risiko bencana. Disamping itu, MKBK menjadi pedoman bagi para pelaku wisata dan pengelola objek wisata dalam melakukan mitigasi maupun penanganan dampak bencana terhadap sektor pariwisata di tanah air.
Prawita GENPPARI memandang bahwa konsep MKBK merupakan langkah strategis menanggulangi bencana sejak masa tanggap darurat hingga pemulihan. Terlebih Indonesia berada pada Pasific Ring Of Fire (cincin api) yaitu jalur rangkaian gunung api paling aktif di dunia yang membentang sepanjang lempeng pasifik. Zona ini memberikan kontribusi hampir 90 persen dari kejadian gempa di bumi dan hampir semuanya merupakan gempa besar di dunia. Keandalan sektor pariwisata dalam menangani kondisi krisis baik yang diakibatkan oleh alam maupun non alam berupa krisis sosial merupakan salah satu kriteria utama dalam membangun pariwisata berkelanjutan dan berdaya saing tinggi. Dengan demikian seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) pariwisata perlu memahami risiko bencana dan krisis di wilayahnya, serta membekali diri dengan kemampuan pengelolaan krisis kepariwisataan sebagaimana dalam panduan (SOP) Pengelolaan Krisis Kepariwisataan.
Jadi kemampuan mengenali potensi bencana di setiap wilayah menjadi sangat penting, agar mampu menyiapkan berbagai langkah antisipatif untuk mencegahnya. Dan kalaupun tetap terjadi ada langkah – langkah yang jelas dalam menanggulanginya. Misalnya untuk daerah Jawa Barat, di samping memiliki potensi pariwisata yang luar biasa mulai dari gunung, pantai, hingga wisata buatan tapi juga memiliki potensi multi bencana yang harus diwaspadai, seperti potensi banjir, gempa, longsor, kebakaran hutan, potensi tsunami yang membentang dari utara ke selatan. Sesar Lembang dan Sesar Cimandiri di Sukabumi.
Adanya potensi multi bencana tersebut, sejatinya menyadarkan semua pihak untuk selalu bekerjasama dalam mengantisipasi dan menanggulanginya. Kekuatan pembangunan perlu didukung oleh semua elemen kemasyarakatan, sehingga ada yang disebut konsep pembangunan ‘pentahelix’ dimana unsur pemerintah, masyarakat atau komunitas, akademisi, pengusaha, dan media bersatu membangun kebersamaan dalam pembangunan di segala bidang, termasuk bidang kepariwisataan. Inilah pentingnya sosialisasi secara intens untuk membahas MKBK yang meliputi Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 10 Tahun 2019 tentang Manajemen Krisis Kepariwisataan, Standar Operasional Prosedur (SOP) Pengelolaan Krisis Kepariwisataan, dan Peta Geospasial Krisis Kepariwisataan.
Akhirul kata, semoga tulisan singkat ini bisa memberikan manfaat buat masyarakat pariwisata Indonesia agar masyarakat bisa melakukan aktivitas wisatanya dengan aman dan nyaman. Semua komponen tetap siap siaga jika terjadi hal – hal yang tidak diinginkan. Kesiapsiagaan ini akan menjadi sangat penting dalam menjamin keselamatan jiwa para wisatawan.”***Masdar