Situasi yang terang benderang saat ini ditandai dengan psywar lewat berbagai latihan gabungan dan pentas – pentas perlombaan senjata nuklir yang semakin tidak terkendali. Kapasitas ledakan dan daya jelajah nuklir semakin menghantui kekhawatiran publik dunia. Di saat yang bersamaan juga telah terjadi perlombaan senjata non-nuklir berupa cyberwar. Jika senjata nuklir masih lebih dipersepsi untuk fungsi deterrence, maka perang siber justru sudah terjadi di banyak lini, termasuk dalam ekonomi dan politik.
Dampak nyata dari perlombaan senjata yang terjadi, bisa terlihat dari peningkatan anggaran belanja pertahanan dan militer. Konfigurasi persenjataan pun mengalami perubahan, yaitu dengan melakukan pengurangan kekuatan darat namun meningkatkan kekuatan udara dan laut, serta meningkatkan kemampuan operasi gabungan, yang dalam literatur perang disebut theatre-level command.
Dengan demikian, maka tidak heran jika publik dunia saat ini dipenuhi rasa kecemasan, ketakutan, kegamangan, dan kemarahan yang merupakan kombinasi emosional yang mewarnai nuansa psikologis masyarakat global. Perang besar dalam sejarah biasanya tidak pernah direncanakan, tapi selalu meletus di tengah suasana kejiwaan kolektif atau public mood yang buruk dan tidak terkontrol. Public mood itu akan terus memburuk seiring berlarut-larutnya konflik dan perang, lalu terakselerasi menjadi frustrasi kolektif dan bisa mengarah ke fatalistik. Apalagi setiap negara memiliki kalkulasi sesuai dengan kepentingannya masing – masing. Nuansa psikologis seperti ini tentu tidak nyaman, oleh karenanya masyarakat dunia perlu menyatukan suara agar para pemimpin mereka menurunkan syahwat kompetisinya dan digantikan dengan semangat kebersamaan guna mewujudkan masyarakat dunia yang benar – benar damai.
Memang saat ini jika disimak secara seksama dari berbagai media, ada banyak perkembangan yang terkait dengan isu-isu keamanan internasional, yang tentu langsung atau tidak langsung akan berpengaruh pada keamanan nasional. Isu-isu permasalahan global, seperti obat-obatan (drugs), migrasi, lingkungan hidup, populasi, tantangan ekonomi global, krisis demokrasi liberal, fusi dan pembelahan, produksi senjata ringan, telah menjadi isu yang lahir sebagai bentuk baru ancaman keamanan yang mengalami transformasi sejak berakhirnya Perang Dingin.
Ancaman dalam bentuk baru ke depan, nampaknya bukan lagi berupa “serangan militer” yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain, tetapi tindakan kejahatan yang dilakukan oleh aktor non-negara (non-state actor) dan ditujukan kepada negara (state actor), individu atau warga negara yang mengancam keamanan umat manusia (human security). Inilah paradigma pergeseran nilai – nilai peperangan masa depan, tanpa mengurangi kemungkinan masih akan adanya konsep peperangan militer yang tentu akan berdampak pada situasi keamanan nasional.***Masdar