Tasikmalaya, analisaglobal.com — Masalah korupsi selalu menarik untuk dibicarakan, dibahas dan didiskusikan. Hal ini terlihat betapa banyak organisasi yang membahasnya dengan semangat untuk membantu Pemerintah ataupun KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi. Bahkan tidak sedikit organisasi yang sudah muak dengan perilaku koruptif sehingga ingin menerapkan pasal hukuman mati bagi pelakunya. Hal ini tentu bisa dipahami karena dampak yang ditimbulkannya sangat besar sekali. Bukan saja pada kerugian uang negara semata, tetapi juga berimplikasi pada jauhnya pencapaian kesejahteraan bagi masyarakat. Demikian disampaikan oleh Pembina GNPK RI Dede Farhan Aulawi di Pekalongan melalui pesan singkat WhatsApp ke analisaglobal.com, Kamis (27/8).
Kemudian Dede juga menjelaskan tentang definisi korupsi dengan merujuk pada 13 pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”). Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan dalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Ketigapuluh bentuk tersebut kemudian dapat disederhanakan ke dalam tujuh kelompok besar, yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi
Sementara itu dengan merujuk data yang ada di KPK, terdapat 18 modus tindak pidana korupsi yang selama ini paling sering dilakukan, yaitu yang pertama Pengusaha menggunakan pejabat pusat untuk membujuk kepala daereah mengintervensi proses pengadaan barang/jasa dalam rangka memenangkan pengusaha tertentu dan meninggikan harga ataupun nilai kontrak.
Kedua, Pengusaha mempengaruhi kepala daerah untuk mengintervemnsi proses pengadaan barang/jasa agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung dan harga barang dinaikkan (di-mark up). Ketiga, Panitia pengadaan yang dibentuk Pemda membuat sepesifikasi barang yang mengarah pada merek produk atau sepesifikasi tertentu untuk memenangkan rekanan tertentu, serta melakukan mark up harga barang dan nilai kontrak. Keempat, Kepala daerah ataupun pejabat daerah memerintahkan bawahannya untuk mencairkan dan menggunakan dana anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian membuat laporan pertangungjawaban fiktif.