Sanksi AS kemudian diberlakukan dengan menyasar sektor perdagangan metal berharga Iran, keuangan dan perbankan nasional, serta industri otomotif. Perusahaan yang memulai transaksi bisnis dengan Iran akan disanksi dan diminta mengakhiri kontrak selama periode 90 hari dan 180 hari. Sanksi tersebut diberlakukan meski laporan badan pengawas atom dari PBB yakni Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyatakan Iran mematuhi kesepakatan nuklir 2015.
Sementara itu di sisi lain, Donald Trump telah mencatatkan sejarah baru dengan menemui pemimpin Korut, Kim Jong-un di Hotel Capella, Pulau Sentosa, Singapura pada 12 Juni 2018. Dalam pertemuan itu, Trump dan Kim menandatangani dokumen yang berisi pernyataan bersama kedua pemimpin negara. Ada empat hal yang terdapat dalam dokumen tersebut yakni pembangunan hubungan baru antara AS-Korut, kerja sama perdamaian di Semenanjung Korea, komitmen denuklirisasi Semenanjung Korea, dan penyelesaian tahanan perang dan repatriasi jenazah sisa perang Korea.
Dalam pelaksanaan kesepakatan tersebut, Donald Trump membatalkan sebagian besar latihan militer dengan Korsel. Korut juga mengirimkan jasad sisa era perang Korea ke AS. Akan tetapi, perlucutan senjata nuklir Korut tidak berjalan mulus. Korut menolak seruan AS untuk melakukan denuklirisasi secara sepihak. Pemerintah Pyongyang tidak mau melucuti senjata nuklir melalui tekanan dan menuntut pencabutan sanksi bagi Korut. Korut juga meminta kesepakatan denuklirisasi mencakup wilayah yang lebih luas. Akan tetapi, AS menolak mencabut sanksi bagi Korut sebelum ada kemajuan dalam denuklirisasi.
Apalagi di pengujung 2018 Donald Trump kembali mengumumkan mundurnya AS dari kesepakatan senjata nuklir dengan Rusia (INF), dimana perjanjian tersebut sebelumnya ditandatangani pada 1987 oleh mantan presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev dan mantan presiden AS Ronald Reagan. Padahal isi dari kesepakatan tersebut pada dasarnya melarang kedua belah pihak memiliki dan memproduksi rudal nuklir dengan daya jangkau 500-5.500 kilometer. Hal tersebut sudah dibuktikan, dimana pada tahun 1991 telah memusnahkan 2.700 rudal balistik dan jelajah. Namun Donald Trump menuding Rusia melanggar kesepakatan INF tersebut. Moskow diyakini tengah mengembangkan senjata sistem peluncuran dari darat. Pengembangan senjata itu diprediksi bisa membuat Moskow mampu melancarkan serangan yang menjangkau Eropa dalam waktu singkat. Meskipun tudingan tersebut telah berkali-kali dibantah oleh Rusia. Keluarnya AS dari JCPOA dan INF justru meninggalkan dunia tanpa tatanan kesepakatan senjata nuklir.
Nampaknya diplomasi pertahanan dunia mengalami kebuntuan, sehingga berakhir dengan perlombaan senjata yang bisa menggiring umat manusia pada kehancuran total. Oleh karenanya mungkin tidak heran jika saat ini terjadi perlombaan senjata, baik senjata nuklir, senjata kimia, maupun senjata biologi. Bahkan senjata digital yang bisa saling melumpuhkan data – data strategis serta merusak kendali algoritma sistem persenjataan modern. Pungkas Dede menutup percakapan di senja hari yang cerah.***(Day)