“Lanjut Nanang, Ini yang seharusnya sejak awal betul-betul diawasi dengan ketat oleh Bawaslu. Jangan sampai misalnya ada bantuan sosial dari pihak ke-3 atau program dari pemerintah kemudian diklaim dan ditempeli poster atau photo petahana lalu diserahkan kepada masyarakat seolah-oleh itu bantuan dari paslon petahana.
Hal-hal seperti ini sudah menjadi rahasia umum dan sering terjadi, sehingga kemudian sering memantik polemik dan mencederai azas demokrasi, objektivitas dan transparansi dalam pilkada. Apalagi pilkada kali ini dilaksanakan dalam situasi dan kondisi pandemi covid-19 yang tentunya menjadi semakin rawan karena banyaknya program-program bantuan sosial, baik dari pemerintah provinsi maupun pusat.” Jelasnya
Karena itu sangat wajar kalau kemudian ada paslon yang membawa hasil pilkada ke MK. Karena diduga banyaknya indikasi kecurangan dan pelanggaran yang menjadi temuan. Jika sistim pengawasan pemilu kalau memang benar-benar berjalan dengan baik dan maksimal, maka sejatinya temuan-temuan itu harusnya ditemukan oleh panwaslu dan bawaslu, bukan oleh tim pemenangan pasangan calon, sehingga ketika itu bisa langsung dicegah dan ditindak lanjut, “ini kan jadi terbalik,” masyarakat atau tim pemenangan paslon yang melapor. Padahal tugas Bawaslu dan Panwas itu mulai dari pencegahan, pengawasan dan penindakan bersama aparat penegak hukum kepolisian dan kejaksaan (gakumdu).” Jelasnya
“Adanya kekisruhan atau polemik yang terjadi dalam pilkada Kabupaten Tasikmalaya kali ini berawal dari adanya kelemahan sistim pengawasan dan kurang maksimalnya lembaga penyelenggara dalam menjalankan tugas, tanggungjawab dan kewenangan sesuai peraturan yang semestinya dijalankan. Soal adanya dugaan praktek KKN itu menjadi ranah nya aparat penegak hukum, terlepas benar dan tidaknya biar lembaga peradilan yang membuktikan.” Tandas Ir. Nanang Nurjamil.***Masdar