6. Benarkah tidak akan ada status karyawan tetap?
Faktanya: Karyawan kontrak tidak ada lagi batasan waktu. Sebagaimana bisa kita lihat di dalam perubahan pasal 59 UU 13 tahun 2003 di omnibus law, tidak lagi diatur mengenai berapa lama kontrak (PKWT) harus diberlakukan. Sehingga bisa saja terjadi PKWT seumur hidup.
“Jika hal ini diterapkan, maka buruh Indonesia tidak memiliki kepastian terhadap masa depan. No job security. Buruh tidak lagi memiliki harapan untuk diangkat menjadi karyawan tetap, karena pengusaha cenderung akan mempergunakan karyawan kontrak yang bisa diberhentikan kapan saja. Sekarang saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing sebesar 60 persen hingga 75 persen tanpa kepastian kerja, upah rendah, tidak ada jaminan sosial. Data ini hasil survei FSPMI bersama lembaga nirlaba Jerman FES di tiga provinsi yaitu Jabar, Jatim, Kepri.
“Adapun permintaan KSPI adalah meminta tetap harus ada batas waktu kontrak bagi pekerja kontrak atau PKWT, sehingga tidak membuka ruang bagi pengusaha untuk mengontrak buruh berulang-ulang tanpa ada pengangkatan menjadi karyawan tetap.
7. Apakah perusahaan bisa mem-PHK kapanpun secara sepihak?
Faktanya: Perusahaan yang melakukan PHK secara sepihak, dalam omnibus law tidak lagi dikategorikan batal demi hukum dan upah selama proses perselisihan PHK tidak dibayar.
“Hal ini, karena, omnibus law menghapus pasal 155 UU 13 Tahun 2003 yang mengatur: (1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum; (2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya; dan (3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
“Jika tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa PHK tanpa izin dari lembaga penyelesaian hubungan industrial adalah batal demi hukum dan tidak ada kewajiban untuk membayar upah hak lain selama proses perselisihan berlangsung, PHK akan semakin mudah.
Selain itu, omnibus law juga mempermudah PHK, sebagaimana terlihat dalam Pasal 154A, khususnya Ayat 1 huruf (b) dan (i) yang mengatur: Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan: (huruf b) perusahaan melakukan efisiensi; dan (huruf i) pekerja/buruh mangkir.
Padahal sebelumnya, Mahkamah Konstitusi sudah memberikan putusan bahwa PHK karena efisiensi hanya bisa dilakukan ketika perusahaan tutup permanen. Dengan pasal ini, bisa saja perusahaan melakukan PHK dengan alasan efisiensi meskipun sedang untung besar.
Selain itu, dalam omnibus law PHK bisa dilakukan karena buruh mangkir (tanpa dijelaskan berapa lama mangkir, sehingga bisa hanya 1 hari). Padahal dalam UU 13 Tahun 2003 PHK karena mangkir hanya bisa dilakukan setelah mangkir 5 hari berturut-turu dan dipanggil minimal 2 kali secara tertulis. Adapun permintaan buruh, semua hal yang mengatur mengenai PHK dikembalikan kepada UU No 13 Tahun 2003.
8. Benarkah Jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang?
Faktanya: Karena outsourcing dan karyawan kontrak bebas, di mana mereka akan mudah direkrut dan dipecat, maka sulit bagi mereka bekerja hingga masa pensiun. Sehingga tidak mendapatkan jaminan pensiun. Sekarang saja, masih banyak buruh outsourcing yang tidak mendapatkan jaminan pensiun atau jaminan sosial yang lain.
Adapun permintaan buruh adalah meminta agar aturan mengenai outsourcing dan kontrak dikembalikan seperti semula, sehingga lebih memberikan kepastian kerja dan dengan sendirinya buruh akan terjamin hak jaminan sosialnya.
9. Benarkah semua karyawan berstatus tenaga kerja harian?
Faktanya: Omnibus law mengatur hubungan yang fleksibel dengan mudah rekrut dan pecat. Sehingga mungkin saja akan banyak buruh yang berstatus sebagai tenaga kerja harian.
Selain itu, omnibus law waktu kerja fleksibel. Hal ini justru akan meningkatkan jumlah pekerja informal di industri padat karya. Misalnya, pabrik boneka, sepatu, baju, tidak lagi mendirikan bangunan pabrik tetapi cukup mendirikan kantor saja.
Pengusaha bisa saja memberikan order ke masyarakat atau buruh yang bekerja dari rumah (home industry). Dengan sistem seperti ini, tidak ada lagi perlindungan untuk buruh. Upah hanya dibayarkan seenaknya dan tidak ada jaminan kesehatan dan jaminan pensiun.
Dampak lebih lanjut, hasil produksi dari para buruh ini menjadi tidak kompetitif dan terjadi eksploitasi terhadap tenaga buruh. Sekarang saja, hal seperti ini sudah terjadi di sektor garmen, sepatu, makanan minuman, dan boneka. Padahal tujuan omnibus law ini salah satunya adalah menambah jumlah pekerja formal dari perpindahan sektor informal.
Adapun permintaan buruh adalah meminta agar ada kejelasan waktu kerja, sehingga tidak membuka ruang bagi pengusaha untuk mempekerjakan buruh dengan sistem harian.
Benarkah Tenaga kerja asing bebas masuk?
Faktanya: Omnibus law menghilangkan kewajiban bagi tenaga kerja asing untuk memiliki izin.
Di mana dalam Pasal 42 Ayat (1) UU 13 tahun 2003 disebutkan: Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk. Tetapi dalam omnibus law diubah dengan hanya memiliki pengesahan RPTKA. Tidak lagi memerlukan izin seperti dalam aturan sebelumnya. Jelas hal ini akan mempermudah TKA masuk. Apalagi praktiknya, saat ini saja TKA unskill sudah banyak yang masuk.
Adapun permintaan buruh adalah, mengembalikan pasal mengenai TKA sesuai dengan UU 13 Tahun 2003
11. Benarkah buruh dilarang protes, ancamannya PHK?
Faktanya: Kekhawatiran ini adalah dampak dari meluasnya buruh outsourcing dan kontrak. Karyawan kontrak itu, kalau tidak nurut (banyak protes), pasti tidak akan diperpanjang kontraknya. Belum lagi diakomodirnya bahwa alasan efisiensi bisa dijadikan alasan untuk melakukan PHK. Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet untuk ‘menyingkirkan buruh yang vokal’ dengan alasan pengurangan (efisiensi).
Adapun buruh meminta PHK karena alasan efisiensi dilakukan sebagaimana putusan MK, hanya bisa dilakukan ketika perusahaan tutup permanen.
12. Benarkah libur Hari Raya hanya pada tanggal merah dan tidak ada penambahan cuti?
Faktanya: Ini bisa saja terjadi, sebagai dampak dari penerapan jam kerja yang fleksibel dan upah per jam sebagaimana lihat tanggapan kami di atas. Sehingga hari libur pun, buruh bisa saja diwajibkan tetap bekerja.
Sementara terkait dengan pernyataan di atas, hal itu sendiri oleh pemerintah, bahwa hari libur di luar tanggal merah tidak diatur dalam undang-undang tetapi dalam kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, buruh meminta, meskipun hari libur ditetapkan oleh kebijakan pemerintah, ditegaskan bahwa buruh tidak boleh diwajibkan untuk bekerja.” Jelasnya***Maskuri